Homili 8 April 2022: Masih ada batu untuk melempar sesama

Hari Jumat Pekan V Prapaskah

Yer. 20:10-13

Mzm. 18:2-3a,3b-4,5-6,7

Yoh. 10:31-42

Masih ada batu untuk melempar sesama

P. John Laba, SDB

Saya pernah melihat sekelompok anak kecil di suatu tempat yang bermain ‘perang-perangan’. Mereka terbagi dalam dua kelompok dan saling melempar dengan batu yang ada dalam genggaman tangan, sambil berteriak-teriak dengan kata-kata lucu dan kotor. Saya merasa heran dan menyayangkan perilaku anak-anak kecil ini. Mereka mungkin merasa hanya lucu-lucuan saja tetapi saya merasa bahwa ini adalah hal yang sangat serius karena dapat merusak watak anak-anak ini. Bersama beberapa orang kami berusaha menghentikan permainan ini. Mereka mengatakan bahwa mereka hanya bermain saja bukan untuk saling melukai, padahal mereka sedang menggunakan batu-batu di tangan. Saya bertanya kepada salah seorang anak dan dia mengatakan bahwa kakaknya juga pernah bermain seperti ini (saling melempar dengan batu). Saya lalu menyadari bahwa saling melempar dengan batu merupakan kebiasaan yang sudah berlanjut dalam masyarakat setempat. Sangatlah disayangkan!

Saling melempar dengan batu merupakan sebuah aksi yang tentu saja berfungsi untuk menutup kelemahan di dalam diri seseorang. Melempar batu kepada sesama adalah tanda tak mampu. Kita dapat menyaksikan orang-orang yang lemah secara fisik, mereka selalu menggunakan batu atau kayu untuk melindungi atau membela dirinya dari orang lain yang dianggap lebih kuat. Ketika orang itu bisa melempari orang yang lebih kuat dengan batu dan mengenai tubuh orang kuat itu sehingga ia merasa kesakitan maka orang itu akan merasa puas. Dia merasa bahwa dia juga bisa dan tidak boleh dianggap lemah oleh orang lain. Situasi seperti ini selalu terjadi di banyak tempat dan mungkin saja ada di antara kita yang sudah pernah mengalaminya.

Pada hari ini kita mendengar kelanjutan kisah Yesus yang berbicara dengan orang-orang Yahudi. Ketika itu Yesus mengatakan bahwa barangsiapa tidak menuruti Firman-Nya maka ia akan mengalami maut untuk selama-lamanya. Yesus juga mengakui diri-Nya bahwa Dia ada sebelum Abraham ada, bahkan menegaskan bahwa Dia mengenal Allah dan menuruti Firman-Nya. Di sini kita melihat kesaksian Yesus tentang kedekatan dan kesatuan-Nya dengan Bapa di Surga. Perkataan sekaligus pengakuan Yesus ini yang membuat orang-orang Yahudi berkeinginan untuk melempar-Nya dengan batu. Dalam dunia Perjanjian Lama, seseorang dapat dilempari dengan batu kalau dia tertangkap basa karena berzina atau melakukan skandal tertentu. Orang juga dapat dilempar dengan batu karena melakukan tindakan untuk melawan Tuhan. Maka di sini, Yesus sang Anak Allah juga disamakan dengan orang bersalah yang harus dilempari dengan batu.

Tuhan Yesus mengatakan kepada orang yang mau melempari-Nya dengan batu bahwa Ia sudah melakukan pekerjaan-pekerjaan atau tanda-tanda yang berasal dari Bapa-Nya dan mereka sendiri melihat dan mengalaminya, namun mengapa mereka berniat untuk melempari Yesus dengan batu. Orang-orang Yahudi mengatakan kepada Yesus bahwa mereka mau melempari-Nya dengan batu karena Ia sudah menghujat Allah dan menyamakan diri-Nya dengan Allah. Memang mereka hanya melihat Yesus sebagai manusia maka ketika Yesus mengatakan persekutuan-Nya dengan Bapa maka mereka merasa Yesus menghujat Allah. Tuhan Yesus tetap berpegang teguh pada pernyataan sikap-Nya bahwa Dia adalah Anak Allah dan konsekuensinya adalah Dia melakukan pekerjaan-pekerjaan Bapa di Surga. Maka harapan Yesus bagi mereka adalah supaya mereka percaya pada pekerjaan-pekerjaan dan tanda-tanda yang sudah dilakukan Yesus. Dalam situasi seperti ini, Yesus tetap bekerja sehingga banyak orang percaya kepada Yesus.

Orang-orang Yahudi mau melempari Yesus dengan batu. Di dalam Kitab Perjanjian Lama, ada beberapa dosa yang mengakibatkan orang dijatuhi hukuman rajam atau dilempari dengan batu: pembunuhan (Im 24:17), penyembahan berhala (Ul 17:2-5), terlalu dekat ke Gunung Sinai ketika kehadiran Allah ada di sana (Kel. 19:12-13), penyembahan roh-roh orang yang telah mati atau okultisme (Im 20:27), dan menghujat nama Tuhan (Im 24:16). Hukuman rajam mungkin juga merupakan hukuman untuk berbagai jenis dosa seksual (Ul 22:24). Perlu diketahui bahwa hukuman rajam adalah metode eksekusi yang dipilih oleh orang-orang Yahudi yang tidak percaya, yang menganiaya orang-orang Kristen perdana. Stefanus, martir perdana gereja, dilempari batu sampai mati di luar Yerusalem oleh anggota Sanhedrin. Pada kesempatan itu, seorang pemuda bernama Saulus, yang kemudian menjadi Rasul Paulus, memegangi jubah orang-orang yang sedang melemparkan batu-batu ke Stefanus (Kis 7:54-60).

Saling melempar dengan batu masih terjadi di antara kita. Masih ada banyak batu di dalam genggaman tangan kita. Tentu saja bukan dengan batu yang digenggam melainkan batu itu identik dengan lidah. Setiap perkataan yang keluar dari mulut dapat menjadi batu yang lebih keras yang langsung menghilangkan nyawa sesama kita. Santo Yakobus pernah berkata: “Lidahpun adalah api; ia merupakan suatu dunia kejahatan dan mengambil tempat di antara anggota-anggota tubuh kita sebagai sesuatu yang dapat menodai seluruh tubuh dan menyalakan roda kehidupan kita, sedang ia sendiri dinyalakan oleh api neraka.” (Yak 3:6). Sekali lagi dosa karena lidah ternyata lebih keras dari batu yang dilemparkan kepada sesama. Pikirkanlah kata-kata yang menjadi kekerasan verbal yang kita lakukan bagi sesama, berapa gossip, pikiran kotor yang diungkapkan kepada sesama. Ternyata lidah lebih keras dari batu dan mematikan karakter sesama.

Nabi Yeremia adalah sosok yang mengalami lemparan batu bukan dengan batu melainkan dengan lidah. Yeremia bersaksi: “Aku telah mendengar bisikan banyak orang: “Kegentaran datang dari segala jurusan! Adukanlah dia! Kita mau mengadukan dia!” Semua orang sahabat karibku mengintai apakah aku tersandung jatuh: “Barangkali ia membiarkan dirinya dibujuk, sehingga kita dapat mengalahkan dia dan dapat melakukan pembalasan kita terhadap dia!” (Yer 20:10). Perkataan yang keluar dari mulut datang dari orang-orang dekat nabi Yeremia. Dalam situasi yang sulit ini, nabi Yeremia tetap mengandalkan Tuhan. Penyertaan Tuhan selalu dialami oleh nabi Yeremia. Hal terbaik baginya adalah selalu bersyukur atas penyertaan Tuhan.

Apakah kita masih mau melempari sesama dengan batu? Apakah kita mesti melakukan kekerasan verbal kepada sesama kita? Apa untungnya kita melempari sesama dengan batu? Apakah kita begitu lemah sehingga harus berperilaku seperti itu? Tidak! Kita lebih dari pemenang. Tuhan selalu menyertai kita maka buanglah batu dalam genggamanmu, kontrollah lidahmu supaya dapat hidup berdampingan dengan sesamamu.

P. John Laba, SDB

Please Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *