Kita semua sering mendengar kata tabayyun (تبيّن ) dalam hidup bermasyarakat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata tabayyun berarti pemahaman atau penjelasan. Kata tabayyun lalu berarti meneliti, mempelajari dan menyeleksi suatu kabar berita dengan tidak tergesa-gesa dalam memutuskan suatu permasalahan, baik itu dalam hal hukum, kebijakan dan lain sebagainya. Orang yang bertabayyun berarti orang itu mencari kejelasan tentang sesuatu hingga jelas benar keadaannya. Bertabayyun itu penting dan harus dalam membangun relasi antar pribadi dan dalam kehidupan sosial kita. Kita tidak memiliki hak untuk menghakimi seorang pribadi yang ada bersama kita karena tentu saja yang terjadi hanya bias-bias pemikiran yang cenderung negatif terhadap pribadi di maksud. Dalam hidup bersama di dalam keluarga atau komunitas sangat dibutuhkan sikap tabayyun ini. Dialog yang terus menerus, keterbukaan satu sama lain adalah tabayyun sederhana yang selalu terjadi dalam hidup bersama.
Kita berada di hari terakhir pekan ke-IV prapaskah. Bacaan-bacaan Kitab Suci menghadirkan dua sosok yang membantu pertumbuhan iman dan kesetiaan kepada Tuhan dalam masa prapaskah ini. Sosok pertama adalah Nabi Yeremia. Nabi Yeremia memiliki tugas khusus untuk mengingatkan bangsa Israel dari segala perbuatan jahat. Ia juga mengingatkan bangsa Israel agar berhenti menyembah berhala dan kembali kepada Allah yang benar. Dari bacaan pertama kita mengetahui bahwa nabi Yeremia sendiri mengetahui dari Tuhan bahwa ada orang tertentu yang merancang kejahatan berupa ancaman-ancaman yang ditujukan kepadanya. Tuhan sendiri yang memperlihatkannya kepadanya ancaman-ancaman itu kepadanya. Dia laksana pohon dan buah-buah yang mau dibinasakan orang. Dia juga hendak dibinasakan dari dunia ini sehingga namanya tidak diingat oleh orang lain. Yeremia lalu berkata: “Tetapi, Tuhan semesta alam, yang menghakimi dengan adil, yang menguji batin dan hati, biarlah aku melihat pembalasan-Mu terhadap mereka, sebab kepada-Mulah kuserahkan perkaraku.” (Yer 11:20).
Kita dapat membayangkan, seandainya orang-orang saat itu memahami tabayyun maka mereka akan berdialog dengan nabi Yeremia supaya memahami seluruh karya perutusannya. Orang-orang hanya berdiri dari jauh dan mengamat-amati Yeremia dan kesalahannya serta melakukan ancaman pembunuhan kepadanya. Satu hal yang tetap menjadi kekuatan bagi Yeremia adalah kehadiran Tuhan yang senantiasa menjaga dan melindunginya. Dia berpasrah hanya kepada Tuhan. Sosok Yeremia haruslah menjadi sosok penting bagi kita semua. Ketika kita mengalami kesulitan, kita seharusnya mengandalkan Tuhan, berpasrah seperti nabi Yeremia. Ketika ada hal-hal tertentu yang berkaitan dengan sesama, baiklah kita bertabayyun, bukan berandai-andai tentang hidup sesama dan menghakiminya di dalam hati kita.
Sosok yang kedua adalah Tuhan Yesus Kristus. Penginjil Yohanes melanjutkan kisah Yesus di Yerusalem. Dari kehadiran-Nya, banyak orang mulai mengenal, mengakui-Nya namun ada juga yang masih meragukan bahkan mengancam-Nya. Orang-orang yang mendengar perkataan-Nya mengakui bahwa Yesus adalah benar-benar nabi yang akan datang. Ada yang mengatakan bahwa Yesus adalah Mesias. Ada yang mengakui bahwa belum pernah ada seorang manusia yang berkata-kata seperti Yesus. Ini tentu pengakuan iman yang terbaik. Namun masih ada yang meragukan Yesus sehingga mengatakan bahwa Yesus bukan Mesias karena Dia berasal dari Galilea. Mesias seharusnya berasal dari keturunan Daud dan itu berarti asal muasal-Nya dari Bethlehem. Gara-gara Yesus maka terjadilah pertentangan di antara mereka. karena pertentangan itu, ada yang mau menangkap-Nya tetapi tidak berani melakukannya. Tidak ada yang berani menyentuh Yesus.
Dalam situasi seperti ini sosok Nikodemus mengusulkan tabayyun sebagai jalan keluarnya. Nikodemus berkata kepada orang-orang Farisi: “Apakah hukum Taurat kita menghukum seseorang, sebelum ia didengar dan sebelum orang mengetahui apa yang telah dibuat-Nya?” (Yoh 7:51). Nikodemus mau mengingatkan mereka untuk kembali ke Taurat dan memahami betapa pentingnya membuka dialog, meminta penjelasan bukan menghakimi dan mengancam. Hal yang penting bagi Nikodemus adalah kemampuan untuk mendengar dan mengetahui secara jelas apa yang dibuat oleh Yesus. Kalau saja kaum Farisi tabayyun kepada Yesus maka tentu mereka akan mengetahui jati diri Yesus sebagai Mesias.
Kadang-kadang kita serupa dengan kaum Farisi yang tidak mudah untuk bertabayyun. Kita hanya bergerak di dalam dunia kita dan sulit untuk membuka diri bagi sesama manusia. Kita berpikir sebagai pemilik sah kebenaran padahal belum tentu kita yang paling benar. Mari kita coba berbenah diri dan menyadari bahwa di dalam diri sesama ada hal-hal terbaik yang patut kita pelajari untuk kebaikan kita. Sesama menjadi guru kehidupan maka bertabayyunlah.
P. John Laba, SDB