Menjadi Misionaris: antara Excited dan Was-Was

Misi Salesian di Papua Nugini dimulai sedikit lebih dahulu dari pada di Indonesia, jadi sudah sekitar 40 tahun kehadiran dan karyanya di sana. Gambar ini menunjukkan salah satu potret perayaan 25 tahun kehadiran dan karya SDB di satu Komunitas di negara itu yang bernama Kumgi. Pada saat ini, para Salesian Don Bosco di negara ini dan di negara tetangganya Solomon Islands membentuk diri menjadi sebuah Vice-Province dengan provinsialatnya di Port Moresby, ibukota Papua Nugini.

Pastor Ferdinansus Ola Amang yang dipanggil dengan nama akrabnya “Juna” adalah salah satu imam termuda di SDB – INA. Ia ditahbiskan bersama dengan rekannya, Pastor Victor Koten, SDB dalam periode wabah Covid-19 yang sedang menggila pada tahun 2020, persisnya pada tanggal 7 Oktober di Gereja Santo Yohanes Bosco, Jakarta. Uskup Keuskupan Agung Jakarta, Ignatius Kardinal Suharyo adalah uskup pentahbis.

Sejak memasuki kehidupannya dalam dunia Salesian, Juna sudah berkeinginan untuk menjadi seorang misionaris ad gentes. Panggilan untuk bekerja di tanah misi yang jauh, di luar negeri sendiri, selalu membara selama tahun-tahun pembinaannya. Maka sebelum menerima tahbisan menjadi imam, informasi tentang kepergiannya ke daerah misi, bahkan tempat tujuannya yaitu Papua Nugini sudah tersebar luas di antara para Salesian dan keluarga Pastor Juna sendiri.

Di dalam masa pandemi Covid, banyak sekali kegiatan menjadi terhambat, termasuk keberangkatannya ke tanah misi Papua Nugini. Sambil menunggu saat keberangkatan itu, Pastor Juna membantu pelayanan pastoral di Paroki Danau Sunter, Gereja Santo Yohanes Bosco selama hampir satu tahun.

Akhirnya pada hari Kamis, 27 Mei, ia berangkat ke Papua Nugini. Di dalam perjalanan, dan khususnya di hari pertama tiba di komunitasnya yang baru di Papua Nugini, Pastor Juna menulis beberapa baris pengalaman dan kesan-kesannya untuk dibagikan kepada banyak orang melalui ruang virtual kita ini.

Panggilan untuk menjadi misionaris ad gentes ini saya rasakan muncul pertama kali sejak masa awal pembinaan saya sebagai seorang calon Salesian. Namun demikian, kekaguman saya terhadap para misionaris yang saya kenal saat saya masih kecil bahkan sampai ketika saya kuliah, membuat saya berkeinginan untuk menjadi seperti mereka, paling kurang salah satu dari mereka.

Saya mengenal Pastor Carbonell saat saya masih dalam tahap pembinaan postulan SDB. Saya juga bertemu dan mengenal sejumlah misionaris unggul di Timor Leste dan Filipina. Pertemuan-pertemuan inilah yang terus menjadi pendorong bagi saya untuk meniti panggilan menjadi seorang misionaris di tempat yang jauh.

Sejak saya menerima kabar pada bulan Juni 2020 bahwa saya akan diutus untuk pergi ke Vice Provinsi Papua Nugini sebagai tempat saya bermisi, saya sudah mulai mempersiapkan diri dan pikiran saya untuk berangkat ke sana. Namun demikian saya harus menunggu sekian lama (sekitar 1 tahun lamanya), agar saya akhirnya bisa berangkat ke tanah misi.

Ada sekian banyak dan panjang proses yang harus saya jalankan agar dapat berangkat ke tanah misi. Proses yang khusus ialah beberapa hal berkaitan dengan protokol kesehatan dari pandemik Covin-19 ini. Dalam proses mengurusi semua persyaratan dan menunggu ini, saya menjalin komunikasi dengan para Salesian di Vice-Provinsi Papua Nugini dan mereka juga membantu saya dalam proses pengajuan Visa untuk dapat masuk negara Papua Nugini.

Hampir setiap dua minggu sekali saya memberikan info-info atau update tentang kegiatan-kegiatan saya di Jakarta, selama masih menunggu saat berangkat. Komunikasi ini terjadi lebih intensif ketika saya sudah mendapatkan Visa dan sedang mempersiapkan tiket keberangkatan ke Papua Nugini.

Akhirnya saya berangkat pada hari Kamis, 27 Mei, sekitar siang pukul 11:00 WIB saya meninggalkan komunitas Paroki St. Yohanes Bosco di Jakarta. Sama-saudara Salesian di paroki ini mengantar saya ke Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Perjalanan saya dari Jakarta menuju Port Moresby melewati terminal transit di Singapura.

Saya tiba di PNG pada hari Jumat, 28 Mei 2021, pukul 05:35 pagi waktu setempat. Saya dijemput oleh Pastor Shrimal, SDB (ekonom Vice-Province PNG), yang juga seorang misionaris asal Sri Lanka. Dari bandara internasional Port Moresby, saya diantar menuju kamar tempat saya akan menjalani masa karantina selama 14 hari. Tempat karantina ini adalah sebuah kamar ujung yang merupakan bagian dari rumah retret bernama Emaus, yang merupakan bagian dalam kompleks Provinsialat Vice-Province PNG.

Setelah masa karantina ini, saya akan pergi menuju ke komunitas tempat saya akan bekerja. Komunitas ini ada di kota Rabaul yang letaknya sejauh satu jam penerbangan ke arah Timur-Utara ibukota Port Moresby. Ini adalah komunitas karya yang fokus melayani orang muda yang belajar teknik ketrampilan dan yang tinggal di asrama dalam bimbingan para SDB. Saya mendapat tugas sebagai moderator spiritual dan wakil rektor komunitas.

Saya mendengar dan membaca cerita-cerita serta menonton video tentang kehidupan di negara PNG ini yang dikatakan tidak “safe” karena adanya kekerasan kepada siapa pun, kapan pun dan di mana pun. Hal ini bisa terjadi di saat-saat yang tak terduga, di mana beberapa (bahkan mungkin banyak orang) merampok dengan kekerasan untuk mendapatkan apa yang kita miliki pada saat itu: termasuk harta dan nyawa.

Hal itu tentu menyebabkan saya harus merasa was-was dan kawatir. Namun di lain pihak, saya juga menjadi tertantang dan excited untuk dapat memberikan sesuatu dari diri saya, yaitu dapat mendidik dan membina orang-orang muda di sini. Bukan hanya dalam hal-hal rohani, tetapi lebih kepada perubahan mental dan karakter orang-orang muda yang berpengharapan dalam hidupnya.

Sebagai seorang Salesian dari INA, saya bangga bahwa Vice-Provinsi INA dapat mengutus banyak misionaris ad gentes, yang saat ini tersebar di berbagai belahan dunia. Semoga setelah saya, masih tetap ada yang menjadi misionaris di luar Indonesia. Saya melihat bahwa misi Salesian di Indonesia tumbuh dengan berkesinambungan.

Perkembangan secara kualitas dan kuantitas dapat dilihat dengan nyata. Tentu saja kemajuan yang ada perlu terus dilestarikan dan dikembangkan melalu discerning attitude dan objective evaluation, agar misi Salesian di Indonesia dapat berbuah bagus sesuai dengan mimpi Don Bosco dan kehendak Allah untuk orang-orang muda di Indonesia. Salam dari saya, P. Juna

Kita semua SDB, Keluarga Salesian, orang muda dan sahabat tentu mendukung Pastor Juna dalam misi barunya di Papua Nugini. Kita menantikan berita-berita baru lagi dari beliau pada kesempatan-kesempatan yang akan datang.

Ketika P, Juna akan boarding di Bandara Internasional Soekarno-Hatta di Banten, 27 Mei 2021. Sama-saudara dari Paroki St. Yohanes Bosco mengantarnya ke Bandara.
Please Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *